Smartphone Murah Pupus Kesenjangan Digital

blankxtekno - Harga smartphone yang kian terjangkau telah mendorong seluruh lapisan masyarakat untuk ikut terhubung ke internet. Itu artinya, kesenjangan digital pun kian pupus jika tren ini terus berlanjut.

Tren ini pun ikut membuat Intel merasa senang. Pasalnya, ketika menilik dari beberapa tahun ke belakang di saat iPhone dan tablet bahkan belum ada, harga PC atau komputer dianggap masih setara dengan pendapatan gaji rata-rata untuk beberapa bulan.

"Terutama bagi seseorang yang tinggal di sebuah kota kecil di Indonesia atau Vietnam. Teknologi komputasi belum terjangkau," kata Prakash Mallya, Managing Director of Intel Southeast Asia.

Menurutnya, menjembatani kesenjangan digital di Asia Tenggara memang salah satu tujuan Intel sejak lama. Maka ketika hal itu pun terwujud, Prakash pun mengaku sangat gembira.

Ia menjelaskan, saat ini feature phones, smartphones, dan tablet mini telah memberikan konsumen akses teknologi dengan harga yang jauh lebih terjangkau ketimbang saat pertama kali dirilis.

"Kualitas konektivitas 3G di Asia Tenggara juga terus membaik. Ponsel dan tablet juga menawarkan layanan 3G prabayar, yang memungkinkan mengakses data dengan biaya rendah. Ini telah mengubah keterjangkauan secara dinamis," paparnya lebih lanjut.




Menurutnya, orang-orang dalam menggunakan smartphone pun tak lagi sekadar untuk browsing internet, chatting, atau melakukan panggilan telepon saja. Tapi mereka mencari perangkat yang bisa melakukan segalanya.

"Itulah tren utama. Saya berharap banyak dari mitra Intel lokal seperti Advan dan Evercoss di Indonesia, Cherry Mobile di Filipina, dan I-Mobile di Thailand untuk lebih berjaya dengan perangkat mereka di tahun 2016 ini," kata Prakash.

Perangkat dengan ukuran lebih kecil seperti Intel's Next Unit of Computing dan Compute Stick juga mempunyai peluang besar, terutama di bidang seperti pendidikan. Ada sekitar 89 juta siswa di seluruh Indonesia, Thailand, dan Vietnam, yang jika dikombinasikan dengan penetrasi PC di berbagai negara-negara tersebut hanya sekitar 2,4%.

Kawasan Asia Tenggara juga memiliki lebih dari 50 juta set televisi digital, namun sangat sedikit yang sudah compute-ready. Dengan memasang Compute Stick, akan memungkinkan perangkat monitor menjadi smart, dan membantu jutaan anak-anak untuk bisa belajar di rumah.

Sementara kegunaan sebagai hiburan juga sangat besar. Contoh, Intel telah menandatangani kesepakatan dengan penyedia telekomunikasi, seperti StarHub di Singapura dan PLDT di Filipina, untuk membundel Compute Stik dengan layanan live video-streaming, dan sudah terbukti sangat populer.



Pengembangan perangkat yang menggabungkan sensor antarmuka, seperti kamera RealSense, menawarkan potensi besar di Asia Tenggara. Tren ini dimulai dengan PC dan komputer 2 in 1 yang memungkinkan orang untuk menggunakan wajah mereka sebagai password. Hal ini sekarang sedang diperluas untuk ke berbagai bentuk lainnya.

"Saat ini penggunaan aplikasi RealSense secara praktis belum cukup menjangkau kualitas teknologinya, namun ini yang akan terjadi pada beberapa tahun ke depan. Misalnya, teknologi RealSense bisa membantu melindungi keamanan pada industri yang sensitif atau wilayah pertambangan, atau di wilayah dimana sedang ada eksplorasi minyak dan gas," kata Prakash.

Selain itu, konektivitas 3G memungkinkan penggunaan baru yang pintar dari teknologi berbasis pada Internet of Things (IoT). Di tahun 2016, ada 27 proyek pemerintah untuk membuat smart city di seluruh Asia Tenggara. India sudah menyatakan akan membuat 100 smart city.

Singapura memiliki pertumbuhan populasi namun dibatasi oleh kendala luas daratan, yang mengharuskan pemerintah untuk lebih efisien dalam mengotomatisasi bidang-bidang seperti transportasi umum, manajemen lalu lintas, dan penggunaan energi.

Sementara di Indonesia, IoT dapat diimplementasikan dalam beberapa aspek, seperti lokasi mikro, transportasi masyarakat cerdas, respon yang cepat dalam situasi darurat, pembayaran digital, dan juga dapat digunakan untuk mendukung pengembangan kota pintar, yang akan direncanakan di beberapa kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya.

Masih banyak pekerjaan yang diperlukan untuk menjembatani kesenjangan digital di Asia Tenggara, dan jawabannya tidak hanya sekedar membuat teknologi lebih terjangkau. Generasi muda di kawasan Asia Tenggara sangat mengerti dunia digital. Pada saat yang sama, mereka kurang memiliki budaya yang kuat dalam penciptaan teknologi untuk mengurangi konsumsi.

"Di negara berkembang, banyak pengguna tablet dan smartphone sudah merasa senang hanya menggunakannya untuk browsing internet. Jadi, tantangan terbesar adalah untuk mendidik masyarakat tentang potensi teknologi, terutama pada PC, untuk berinovasi dan memecahkan masalah kehidupan masyarakat."



"Di Intel, kami berusaha memberikan inspirasi kepada generasi muda untuk membuat konten dan menciptakan aplikasi. Teknologi keren seperti RealSense, Curie, dan Galileo dapat memberikan ide-ide dan startup baru," katanya.

Prakash menyebutkan, ketika melihat kesenjangan digital, sangat penting untuk mengingat bahwa negara dengan penetrasi teknologi yang buruk menikmati keuntungan yang unik. Sementara pasar yang matang dibebani oleh infrastruktur lama.

Di negara berkembang, kabar baiknya adalah bahwa tidak adanya infrastruktur lama memberikan kesempatan kepada perusahaan dan start-up untuk berpikir lagi. "Mereka dapat merebut kemampuan baru yang menarik dan benar-benar memulainya dengan melewati pesaing mereka, dan pada tahun 2016 ini, saya yakin bahwa akan banyak kejadian besar," tutur Prakash.

Komentar